April 05, 2008

Laki-laki Kelima

Cerpen Roni H Bata

KUPANG, suatu musim panas yang panjang
Laki-laki pertama
Perawakannya tinggi, rambut ikal, berkulit terang. Dia suka bicara tentang politik dengan intonasi yang menggelegar seolah dialah yang paling tahu siapa yang paling korup, siapa saja gadis Sephia sang koruptor, di mana mereka tidur dan bersenang-senang, trik politik apa saja yang sedang trend dan siapa bakal calon pemimpin daerah berikutnya.
Saya sering mendengarnya bicara sambil menghayalkan bunga adenium yang cantik dengan bonggolnya yang seksi, mengembung seperti perempuan hamil. Berbanding terbalik dengan lelaki yang tengah dekat dengan saya, keindahan dalan pengertiannya hanyalah politik dan bagaimana terlihat penting. Sering saya tak ingat politisi mana yang sedang dibidik oleh si lelaki pertama.
Kalau sedang bosan saya pura-pura bertanya," jam berapa mulai pertemuan dengan si Anu?" Dia akan segera melirik jam tanganya yang sebesar bola kasti, bagus buat membunuh binatang penyebab rabies kalau ia tega menggigit sandalmu satu-satunya sampai putus.
Tidak perlu banyak usaha dia akan melesat seketika ke meja pertemuan dengan pejabat atau pengusaha. Kami sudah sering bertemu, makan di restaurant, jalan-jalan di pantai. Tapi, dia tidak tahu nama lengkap saya dan saya tidak ingat kapan kami mulai dekat. Bagi saya dia cuma sarana dalam sebuah rutinitas mekanik. Tak disadari apakah benar-benar berbeda ketika dia ada atau tiada, tiba-tiba cerita dengannya sudah sampai di titik usai.
Laki-laki kedua
Kami bertemu di sebuh seminar. Saat rehat, kami berbincang-bincang tentang mutu pendidikan yang cenderung menurun, dunia sekolah yang memasung bakat dan kemampuan anak dengan peraturan dan tuntutan yang membabi buta, pekerjaan rumah yang terlalu banyak, dan nasib guru yang buntung.
Setiap menatapnya ada cahaya seperti halilintar yang berkelebat sangat cepat, biasan petir warna-warni yang biasa membutakan mata dan sensasi yang memacu jantung berdetak tanpa irama. Dia hanya bicara tentang dunia kerja. Selebihnya hanya diam. Kata-kata tidak cukup mewakili indahnya seribu kunang-kunang yang membias dalam kedipanya.
Setelah seminar itu, kami tidak pernah bertemu lagi dan saya menutup mata untuk mengurangi setiap kenangan tentangnya. Ada jarak yang tidak dapat kami seberangi sebab hidup tidak menawarkan kami kemungkinan. Saya mengunyah manisnya ingatan mengenai dia dan melupakan setumpuk bahasa yang tidak sempat terucap.
Laki-laki ketiga
Layla, temanku merasa gerah karena usiaku 30 dan tidak juga menjatuhkan pilihan pada lelaki manapun. Bagi banyak orang, saya disebut makhluk belum lengkap sebab saya belum berkeluarga. Kemanapun pergi saya diserbu pertanyaan yang sama.
"Kapan kawin?" Seolah kawin adalah fase paling sempurna dalam kehidupan. Saya sedang jengah. Saya tidak perlu kawin hanya untuk menghentikan pertanyaan yang sama. Seandainya sudah kawin pertanyaan berikutnya adalah suami kerja di mana, putranya berapa, sudah punya rumah?
Hidup akan terus berputar, apakah saya kawin atau tidak dan pertanyaan akan terus bergulir dari orang-orang yang masih punya banyak waktu mengurusi kehidupan tetangga. Sampai suatu saat Layla datang memperkenalkan saya pada tetangganya.
Wajahnya tampan, punya pekerjaan bagus di sebuah yayasan asing, masih single dan sedang cari jodoh. Kami pun bertemu di sebuah rumah makan, ditemani rekanku Layla, sebagai mak comblangnya. Laki-laki itu menatapku lekat-lekat. Saya melihat serbuan seribu bintang di manik matanya tetapi pijarnya serasa sampai di saya ketika sudah jadi debu.
Ada banyak pertemuan setelah itu, tentu saja tanpa Layla. Saya perlu teman dan tentu saja sedang teriritasi kalau tidak punya pacar. Karena saya berpendidikan tinggi, punya karier dan sex-appeal yang menarik. Akan ganjil untuk tidak punya pacar. Saya masih mempertimbangkan tuntutan sosial-budaya dan jadi bimbang karena kesendirian saya. Suatu hari dia melamar saya. Sejak saat itu saya tidak ingin menemuinya lagi. Dia ingin saya berhenti bekerja.
Nyali saya kecut dan sepat. Saya tumbuh di jalanan semenjak menjadi wartawan dan menikmati tiap pergulatannya melebihi saat mana pun. Lagi pula bekerja tanpa upah, didefenisikan sebagai kaum tidak produktif menurut ahli ekonomi dan pemerintah, tidak punya kuasa atau sumber daya fisik, dan menjadi salah satu dari 70 persen kaum yang kurang mempunyai akses terhadap tingkat kehidupan yang wajar menurut Human Development Index, bayangan yang mengerikan. Saya ingin terbang bersama malam dan menanti matahari baru tiba dengan sinarnya yang tidak menghanguskan.
Laki-laki keempat
Usiaku 32 dan kutemukan kenyataan bahwa aku masih sendiri. Dia menemani ibuku ketika sakit, dan aku kelelahan antara kewajiban menjaga ibu dan tugasku sebagai seorang wartawati. Ketika malam yang panjang dan penuh kegelisahan menanti kesembuhan ibu, dia selalu ada di dekatku, di rumah sakit.
Tidak banyak yang dicakapkan kecuali tentang ibu dan pekerjaanku. Sebab, dia belum mendapatkan pekerjaan yang cocok setelah menamatkan kuliahnya di jurusan informatika di Yogya. Dan, dia lima tahun lebih muda. Sesungguhnya bukan itu yang mengganjal meski kerap menganggu. Tapi saya bingung harus bicara apa padanya.
Saya pernah bertanya apakah dia sudah membaca 'Da Vinci Code dan perdebatanya tentangnya, dia menjawab," Itu komik, ya?" Dan ketika malam makin jauh dan saya mengantuk, saya iseng mengajaknya bicara mengenai 'Inconvenient Truthnya Al Gore' yang membawanya memenangkan nobel. Pemuda itu tersenyum bingung. Saya lalu menyebut Harry Potter, Sponge Bob, Kuraa-kura Ninja.............dia mendengkur.
Francois Lake, Fall
Daun-daun maple menguning. Sebagianya mulai tua, kering dan gugur satu-satu. Danau Francoiss teduh dan riak. Semua begitu tenang. Saya sedang menghabiskan The Secret. Tidak fokuss. Pikiran beterbangan pada sms yang barusan masuk. "Seumpama menginginkan sebuah baju, baju itu sudah terbeli tapi saya kehilangan selera untuk memakainya".
Darah sedang mengalir seantero dinding hati, saya terluka. Jari mulai mampu menarik 'datang atau saya pulang!" Kita perlu bicara." Saya mengancam dengan kalimat pendek, membelit leher. Dari Prince George butuh waktu dua jam untuk tiba di Francois. Tapi saya tidak peduli. Dia menyerah pada ancaman karena katanya 15 menit lagi sampai. Pikiran itu menghangatkan.
Nadi saya bergerak cepat. Dan akhirnya dia tiba. Ada reruntuhan pohon roboh di dada saya karena saya bisa mendengar gemuruhnya. Saat dia duduk di depan saya, mata hitam itu melumat semua otot dan tulang yang menyangga tubuh saya. Rasanya ingin roboh kalau tidak takut malu.
"Kenapa datang?" Pertanyaan yang sengaja saya lontarkan. Pura-pura bodoh. Biar dia bahasakan supaya ada bunyi yang bisa direkam dan diputar ulang di kedalaman ingatan, menghangatkan malam-malam dingin di Vanderhoof. Saat tugas-tugas kuliah terasa makin sulit dan saya kehabisan selera untuk berpikir.
"Karena kau berharga. Tidak seperti baju. Maafkan bahasa saya waktu sms. Itu analogi yang keliru. Maksud saya, saya beristri. Saya tidak ingin mengorbankanmu. Tapi, sekarang saya kehilangan selera untuk memilikimu sebab itu tidak mungkin. Itu akan menyakiti perasaan istri saya. Sekarang kau makin banyak arti buat saya. Lebih sulit untuk tidak memikirkanmu justru pada saat seharusnya kau tidak boleh ada dalam ingatan."
Saya terdiam, merasakan sayatan yang sempurna di dada yang bergetar. Bumi, matahari dan semua planet di lingkaran tata surya ikur gemetar, karena pada lintasanya sebuah Unidentified Flying Feeling sedang melintas."Terima kasih mau datang dan bicara.. Saya bangga padamu. Kita berhenti di sini?"
Pertanyaan melesat begitu saja, tidak saya cerna atau tahu apakah bermanfaat. Bulan berikutnya studinya di UNBC selesai, sedangkan saya masih harus belajar setahun lagi."Saya tidak bisa berhenti mencintaimu, tetapi juga tidak sanggup melangkah lebih jauh seinci pun." Suaranya terdengar berat dan jauh. Perasaan saya penuh seperti balon siap meledak. Percakapan usai. Seperti ombak, mundur ditarik gerakan samudra. Semesta terhenyak. Francois kehilangan semua suara.
Prince George, Winter."Minum apa?" Tanyanya."Rainbow, please," saya tersenyum. Hari terakhir bersamanya. Waktu yang ingin saya hindari telah tiba terlalu cepat. Ups, tarikan pertama pada pippete, tidak manis tapi cukup baik meredam emosi yang riuh.
Tempat ini, moment ini, Rainbow ini akan lenyap sebelum tiga kalimat sempat terucap sempurna. Satu jam berikutnya laki-laki itu telah melesat ke selatan menuju Vancouver, lalu terbang ke LA, Bangkok, Singapura dan Jakarta, kembali ke pelukan istri yang menantinya di Indonesia.
Mengapa tujuan selalu ada di suatu tempat dan suasana yang bukan di sini dan saat ini, tapi di tempat lain dalam suasana yang lain sehingga orang selalu bergegas ke satu titik itu. Mengapa tujuan ada di jalan, di gerbong kereta, di kursi pesawat atau di restaurant ini supaya saya tidak perlu kehilangan dia?
Dia hanya diam dan terus menatap saya dengan makna yang tidak ingin saya tebak. Saya tidak perlu bahasa. Salju masih terus turun di rambut, winter coat, dan boots.
Vanderhoof, Summer. Daun-daun maple menghijau segar. Apple berbuah sangat lebat di dekat jendelaa dapur keluarga Laa Brash. Saya selalu menginap di sini setiap weekend. Kerinduan tiba-tiba menyerbu saya seketika.
Dimana laki-laki itu sekarang? Di belahan mana di Indonesia dia berada? Sedang buat apa? Sudah semusim tak ada kabar, tak ada ucapan rindu atau sekedar menanyakan keadaan saya. Tiba-tiba seekor squirrel melintas, menebas kenangan yang selalu melekat di pori-pori waktu tentang lelaki yang sama. Saya tersadar. Saya masih di sini. Usia 33, lajang, mahasiswi Master of Journalism di University of New British Columbia. (*) Pos Kupang Minggu, 9 Maret 2008, halaman 6.

Tidak ada komentar: