September 29, 2008

Babo Woda

Cerpen Roni H Bata

APA yang paling sering dikenang tiap September tiba? September Cerianya Vina Panduwinata, suhu panas mencapai titik kulminasi di daerah-daerah tropis, daun- daun mulai berguguran di negeri empat musim atau luruhnya helai-helai ketapang di halaman sekolah? Tidak. Bukan itu semua. Saya tidak terlalu hafal peristiwa-peristiwa bersejarah sepanjang September, kecuali Napoleon Bonaparte memasuki kota Moskow dan membakar seluruh kota pada tanggal 14 September 1812, kelahiran aktris super jelita dan berbakat Sophia Lauren tanggal 20, Sovyet meledakkan bom atom pertamanya sebagai percobaan pada tanggal 22 tahun 1949, Saudi Arabia merdeka di tanggal 23, hari ulang tahun kekasihku yang jatuh pada tanggal 24 dan tentu saja Gerakan 30 September di tahun 1965. Tapi melebihi semua itu, saya selalu terkenang Babo Woda. Ya, lelaki berusia 70-an itu.

Di akhir September, tiga pohon ketapang di halaman sekolah akan gugur sampai telanjang bulat sepanjang kurun waktu dua minggu. Babo Woda, petugas kebersihan sekolah akan kebanjiran pekerjaan. Mulai pukul tujuh sampai pukul sembilan, Babo Woda akan menyapu luruhan helai ketapang di depan ruang guru Sasana Mitra 2. Dua jam berikutnya di halaman XII Bahasa 1, dan dua jam terakhir di halaman samping perpustakaan. Dan, ketika sapunya sibuk menyeret daun ke tempat sampah, dua halaman yang tadi sudah dibersihkan sudah dipenuhi helai-helai ketapang yang terus saja berjatuhan.

Kalau tidak sedang mengajar saya suka mengajaknya bercerita atau sekedar menanyakan apa kabar. Saya sering mengangguk seolah mengerti karena artikulasinya yang buruk. Saya menduga giginya hampir seluruhnya tanggal kecuali dua atau tiga gigi depan.
"Babo, September pasti bikin Babo lebih banyak kerja e?" Saya membuka percakapan dengannya pada suatu pagi di bulan September.
"Kenapa?" Dia balik bertanya.
"Karena di bulan September semua ketapang di sini daunnya berguguran. Saya kasihan lihat Babo sapu setiap saat tapi sia-sia karena akan penuh lagi dalam sesaat." Dia tersenyum.

"Sama saja, Ibu. September atau bukan saya tetap akan menyapu dari jam tujuh sampai jam satu. Itu tugas saya." Saya tersentak. Malu dan masgul. Kesenduan saya tentang September ternyata ditanggapi Babo Woda sebagai rutinitas mekanik biasa, tak ada beban atau kesedihan atau secuil emosi pun dalam jawabannya.

Suatu ketika beberapa guru bertengkar di ruang piket, memprotes kebijakan kepala sekolah yang masih saja mempekerjakan Babo Woda, bukan karena alasan kemanusiaan bahwa dia sudah seharusnya beristirahat tetapi karena alasan produktivitas. Geraknya lamban, hasil kerja tidak maksimal sehingga perlu bantuan para petugas piket untuk mengatur siswa-siswi yang terlambat untuk membantu membersihkan sampah sebagai sanksinya. Kepala Sekolah dianggap terlalu halus dan tidak rasional. Pekerja uzur kok dipertahankan, sedangkan masih banyak orang muda berkeliaran di jalan tak punya pekerjaan.

Tapi entah mengapa Babo Woda masih saja ditemui di tiap-tiap pergantian pagi. Celana panjang hitam, baju kaos bertuliskan Pembina di punggung yang mulai kekuning-kuningan karena kotor dan usang dan seperangkat alat kerja berupa karung bekas dan sapu lidi. Dan, saya menikmati setiap perjumpaan dengannya. Dia meraup kekaguman saya karena dia begitu tua tapi juga begitu kuat.

"Pagi, Babo!" Begitulah saya selalu menyapanya.

"Pagi, Ibu. Saya ada titip kelapa empat buah di rumah Ibu. Semuanya sudah 30 buah". Saya agak kaget.

"Iya kah? Nanti selesai ngajar saya kasih uangnya, Babo."

Bukan cuma kepala sekolah yang dianggap tidak rasional. Sudah banyak tumpukan kelapa di dapur karena kami toh tidak akan mengkonsumsi kelapa sebegitu banyak. Ibu saya mulai marah-marah karena dapur menjadi makin sempit dan tidak tahu mau diapakan kelapa-kelapa itu. Entah kenapa saya selalu saja memesan kelapa lagi, bahkan ketika syaraf perintah di otak saya belum bekerja, kata-kata permintaan sudah meluncur licin di bibir saya sebelum saya bisa mengkalkulasi asas-asas manfaatnya. Tapi adakah kita benar-benar mendasari tiap-tiap tindakan dengan asas manfaat?

Sejak ribuan tahun yang lalu jasad tumbuhan dan hewan yang hidup di laut maupun yang datang dari darat terbawa arus sungai telah terhempas ke dasar laut. Jasad renik ini ditambah berton-ton pasir dan lumpur tertimbun membentuk lapisan-lapisan ribuan meter tebalnya, suatu substansi yang oleh tekanan dan hawa panas kemudian berubah menjadi minyak mentah yang dipakai jadi bahan bakar dan minyak pelumas setelah diolah di kilang-kilang minyak. Lapisan apakah yang membentuk Babo Woda sampai begitu kuat? Dari kemelaratan dan kekurangan yang berlapis lalu jadi endapan kesabaran jutaan meter tebalnya, mendapat tekanan kebutuhan hidup yang memaksanya masih bekerja sampai renta? Dia mungkin bekerja untuk membunuh rasa jenuh, tapi lebih banyak dan hampir menjadi alasan terpenting adalah demi menyambung beberapa utas nyawa. Nyawanya sendiri, istri dan anak-anaknya, mungkin juga para cucu.

"Ibu Maya, ini ada disposisi dari Kepala Sekolah. Ibu diperintahkan mengikuti Pelatihan KTSP untuk guru Mata Pelajaran Bahasa Jerman selama seminggu di Kupang."

Seru Ibu Margareta dari ruangan kantor sekolah. Dia berlari-lari kecil menyerahkan nota disposisi dimaksud. Saya agak kaget karena saya sudah harus melapor diri di tempat pelatihan keesokan harinya. Tanpa banyak pikir saya segera booking tiket pesawat dan menyiapkan segala macam keperluan untuk segera berangkat ke Kupang.

"Babo, besok saya berangkat ke Kupang. Sore Babo ke rumah. Saya mau bayar hutang." Saya menyapanya ketika hendak pulang ke rumah. Babo Woda hanya mengangguk dan tidak menoleh ke arah saya. Perlu energi dan kelenturan sendi untuk sekedar menoleh apa lagi memindahkan kaki dan tangan ke arah yang berlawanan. Asam urat, tulang rapuh, pinggang encok, adalah penambah sederetan penderitaan.

"Ibu, saya lihat Ibu sering pesan kelapa di Babo Woda. Untuk apa beli kelapa begitu banyak? Perlu atau buang-buang duit?" Ibu Hartati bertanya. Saya tidak menjawab, membiarkan pertanyaannya berlalu sampai gemanya menghilang di balik riuh suara para siswa yang bergembira karena lonceng telah berdentang tanda usai sekolah. Saya tidak perlu alasan apa pun untuk membeli kelapa Babo Woda. Saya tidak menyesali tindakan saya yang kelihatannya hanya ungkapan emosi sesaat. Apakah keadaan Babo Woda yang tidak menguntungkan disebabkan karena dia tidak menjadikan dirinya maknet positif yang memungkinkan dia mencapai jutaan cita-cita positif? Semesta tidak bersekutu dengannya dan tidak memenuhi keinginannya untuk bisa hidup layak, punya anak-anak yang berhasil sehingga bisa nginap di home stay di Moni selama tiga hari, menikmati keindahan danau tiga warna sambil melukis, atau diving di Waiara, tidur di hotel mewah di Labuan Bajo, mengunjungi Riung 17 pulau dan jutaan kegembiraan lain seperti dalam cerita orang-orang sukses.

Mengikuti pelatihan selama seminggu cukup melelahkan. Tapi terobati karena bisa bertemu teman-teman kuliah dan mendengar cerita-cerita mereka seputar kehidupan keluarga dan pengalaman di tempat kerja masing-masing. Sejenak masa-masa kuliah seperti diputar ulang. Pada satu titik hidup seperti berhenti dan saya menikmati moment ketika saya kembali ke pusaran waktu yang pernah begitu indah. Tapi hari-hari terus berlari. Pelatihan usai dan saya kembali teringat Babo Woda. Dia tidak datang ke rumah seperti yang saya minta dan saya terburu-buru pergi sebelum membayar hutang padanya. Saya lalu membelikan sebuah hadiah untuk Babo Woda. Setelah beberapa saat bingung mau membeli apa, akhirnya pilihan jatuh pada sepasang sandal carvil dan sweater. Saya mulai membayangkan seulas senyum simpul yang menyembunyikan gigi-giginya yang hampir semuanya tanggal.

"Pagi, Pak. Lihat Babo Woda kah?" Saya bertanya pada Pak Vincent di hari pertama sekembalinya saya dari Kupang. Pak Vincent menggeleng dan berlalu.
"Yum, ketemu Babo Woda?" Kali ini siswa kelas XII IPS 4 yang saya tanyai.
"Tidak, Ibu." Jawabnya singkat. Saya lalu menemui Om Senda, satpam sekolah.
"Om, lihat Babo Woda?" Dia nampak tak peduli. Bibirnya tiba-tiba dinaikan seperti orang yang hendak mencibir atau protes atau sejenisnya.

" Saya tidak tahu, Ibu. Saya heran dengan orang-orang yang kerja disini. Dua puluh tahun saya bekerja disini, saya hanya digaji empat ratus ribu. Saya jaga sekolah mulai dari jam7 pagi sampai selesai sekolah lalu jaga lagi sore dan malam hari. Kalau ada barang-barang sekolah yang hilang atau rusak, saya turut kena getahnya, juga kalau ada keributan antar siswa atau siswa dengan guru, atau orang tua siswa mengamuk, saya orang pertama yang hadir di TKP, dapat ngamuk, caci maki. Eh, ada pegawai honor baru hanya pake baju bagus, sebentar datang lalu pulang digaji lima ratus ribu. Kalau bukan pegawai negeri berarti kuli. Jadi kuli macam saya harus tahu diri"

Tenggorokan saya seperti kering mendadak. Kesesakan kaum terabaikan kadang tidak peduli tempat, apa, siapa untuk jadi tempat sampah. Saya tidak tahu siapa sebenarnya yang sedang dibencinya dan baru saja ingin pergi ketika tiba-tiba Ibu Margareta, pegawai sekolah muncul dari pintu gerbang. Saya pun tahu kini saya menemukan orang yang pas untuk bertanya tentang Babo Woda.

"Ibu Margareta tahu dimana Babo Woda?" Ibu Margareta tidak segera menjawab pertanyan saya, malah balik bertanya, "Ibu tidak tahu kah?". Saya mengerutkan dahi. Bingung.
"Tahu apa maksud Ibu?" Saya bertanya lagi.

"Ibu Maya, sudah empat hari Babo Woda diistirahatkan dari pekerjaanya. Babo Woda sudah terlalu tua dan sakit-sakitan. Kerjanya pun makin lamban. Akhirnya rapat Kepala Sekolah, dewan guru dan komite memutuskan untuk mengistirahatkan Babo Woda. Saya dengar kemarin Babo Woda dan keluarganya pulang ke kampungnya di Rate Nggoji."

Saya mendadak tuli, bisu, gagu kaku, beku. Benarkah? Kenapa? Saya teringat sepasang sandal carvil dan sweater yang belum sempat saya berikan, juga hutang yang belum saya lunaskan. Saya ingin mengatakan banyak hal baik tentangnya dan mengakui arti kehadirannya untuk sekolah. Saya juga mau berterima kasih telah begitu setia menghantarkan kelapa ke rumah, untuk menemani saya ngobrol di sela-sela waktu mengajar, dan terutama untuk menjadi seperti berlian, sebongkah batu bara yang menjadi indah karena sejumlah tekanan. Tapi seribu bahasa tak lagi bermakna sebab saya telah tertinggal oleh waktu yang telah membawanya berlalu dari keseharian saya. Seonggok rasa sesak menyeruak. Saya tenggelam dalam perasaan yang tidak sanggup saya namai.

Hari-hari lewat begitu cepat, meninggalkan saya dengan sejumlah kenangan. Saya teringat ketika tangan-tangannya masih menyapu daun-daun yang jatuh, tidak banyak orang yang menyadari bahwa dia ada di lapangan basket, halaman Batara, di naungan pohon johar, akasia, ketapang. Dia hanya seperti angin di antara pepohonan atau kutu kecil di rerumputan sekolah. Cerita tentangnya terkubur bersama helai-helai ketapang di lubang-lubang sampah.

September ketiga telah datang dan pergi lagi sejak Babo Woda meninggalkan sekolah. Saya sibuk mengingat hal-hal bersejarah sepanjang September. Pada 1 September 1992 Soeharto membuka KTT Nonblok X di Jakarta, 5 September hari lahir Raja Louis XIV dari Perancis, 10 September 1907 New Zealand menjadi dominion dari persemakmuran Inggris, 11 September gedung WTC diluluh-lantahkan kaum teroris, 15 September (1917) Republik Rusia diproklamirkan oleh Alexander Kerensky, 1 sampai 30 September ada lelaki tua berusia 70-an bercelana panjang hitam, berkaos oblong dengan tulisan Pembina di balik punggung, dengan seperangkat sapu lidi dan karung menyapu guguran helai ketapang di halaman sekolah.......

Ende, April 2008

For an old man who always passes by my door.

Pos Kupang edisi Minggu, 11 Mei 2008, halaman 6
Read More...

April 05, 2008

Laki-laki Kelima

Cerpen Roni H Bata

KUPANG, suatu musim panas yang panjang
Laki-laki pertama
Perawakannya tinggi, rambut ikal, berkulit terang. Dia suka bicara tentang politik dengan intonasi yang menggelegar seolah dialah yang paling tahu siapa yang paling korup, siapa saja gadis Sephia sang koruptor, di mana mereka tidur dan bersenang-senang, trik politik apa saja yang sedang trend dan siapa bakal calon pemimpin daerah berikutnya.
Saya sering mendengarnya bicara sambil menghayalkan bunga adenium yang cantik dengan bonggolnya yang seksi, mengembung seperti perempuan hamil. Berbanding terbalik dengan lelaki yang tengah dekat dengan saya, keindahan dalan pengertiannya hanyalah politik dan bagaimana terlihat penting. Sering saya tak ingat politisi mana yang sedang dibidik oleh si lelaki pertama.
Kalau sedang bosan saya pura-pura bertanya," jam berapa mulai pertemuan dengan si Anu?" Dia akan segera melirik jam tanganya yang sebesar bola kasti, bagus buat membunuh binatang penyebab rabies kalau ia tega menggigit sandalmu satu-satunya sampai putus.
Tidak perlu banyak usaha dia akan melesat seketika ke meja pertemuan dengan pejabat atau pengusaha. Kami sudah sering bertemu, makan di restaurant, jalan-jalan di pantai. Tapi, dia tidak tahu nama lengkap saya dan saya tidak ingat kapan kami mulai dekat. Bagi saya dia cuma sarana dalam sebuah rutinitas mekanik. Tak disadari apakah benar-benar berbeda ketika dia ada atau tiada, tiba-tiba cerita dengannya sudah sampai di titik usai.
Laki-laki kedua
Kami bertemu di sebuh seminar. Saat rehat, kami berbincang-bincang tentang mutu pendidikan yang cenderung menurun, dunia sekolah yang memasung bakat dan kemampuan anak dengan peraturan dan tuntutan yang membabi buta, pekerjaan rumah yang terlalu banyak, dan nasib guru yang buntung.
Setiap menatapnya ada cahaya seperti halilintar yang berkelebat sangat cepat, biasan petir warna-warni yang biasa membutakan mata dan sensasi yang memacu jantung berdetak tanpa irama. Dia hanya bicara tentang dunia kerja. Selebihnya hanya diam. Kata-kata tidak cukup mewakili indahnya seribu kunang-kunang yang membias dalam kedipanya.
Setelah seminar itu, kami tidak pernah bertemu lagi dan saya menutup mata untuk mengurangi setiap kenangan tentangnya. Ada jarak yang tidak dapat kami seberangi sebab hidup tidak menawarkan kami kemungkinan. Saya mengunyah manisnya ingatan mengenai dia dan melupakan setumpuk bahasa yang tidak sempat terucap.
Laki-laki ketiga
Layla, temanku merasa gerah karena usiaku 30 dan tidak juga menjatuhkan pilihan pada lelaki manapun. Bagi banyak orang, saya disebut makhluk belum lengkap sebab saya belum berkeluarga. Kemanapun pergi saya diserbu pertanyaan yang sama.
"Kapan kawin?" Seolah kawin adalah fase paling sempurna dalam kehidupan. Saya sedang jengah. Saya tidak perlu kawin hanya untuk menghentikan pertanyaan yang sama. Seandainya sudah kawin pertanyaan berikutnya adalah suami kerja di mana, putranya berapa, sudah punya rumah?
Hidup akan terus berputar, apakah saya kawin atau tidak dan pertanyaan akan terus bergulir dari orang-orang yang masih punya banyak waktu mengurusi kehidupan tetangga. Sampai suatu saat Layla datang memperkenalkan saya pada tetangganya.
Wajahnya tampan, punya pekerjaan bagus di sebuah yayasan asing, masih single dan sedang cari jodoh. Kami pun bertemu di sebuah rumah makan, ditemani rekanku Layla, sebagai mak comblangnya. Laki-laki itu menatapku lekat-lekat. Saya melihat serbuan seribu bintang di manik matanya tetapi pijarnya serasa sampai di saya ketika sudah jadi debu.
Ada banyak pertemuan setelah itu, tentu saja tanpa Layla. Saya perlu teman dan tentu saja sedang teriritasi kalau tidak punya pacar. Karena saya berpendidikan tinggi, punya karier dan sex-appeal yang menarik. Akan ganjil untuk tidak punya pacar. Saya masih mempertimbangkan tuntutan sosial-budaya dan jadi bimbang karena kesendirian saya. Suatu hari dia melamar saya. Sejak saat itu saya tidak ingin menemuinya lagi. Dia ingin saya berhenti bekerja.
Nyali saya kecut dan sepat. Saya tumbuh di jalanan semenjak menjadi wartawan dan menikmati tiap pergulatannya melebihi saat mana pun. Lagi pula bekerja tanpa upah, didefenisikan sebagai kaum tidak produktif menurut ahli ekonomi dan pemerintah, tidak punya kuasa atau sumber daya fisik, dan menjadi salah satu dari 70 persen kaum yang kurang mempunyai akses terhadap tingkat kehidupan yang wajar menurut Human Development Index, bayangan yang mengerikan. Saya ingin terbang bersama malam dan menanti matahari baru tiba dengan sinarnya yang tidak menghanguskan.
Laki-laki keempat
Usiaku 32 dan kutemukan kenyataan bahwa aku masih sendiri. Dia menemani ibuku ketika sakit, dan aku kelelahan antara kewajiban menjaga ibu dan tugasku sebagai seorang wartawati. Ketika malam yang panjang dan penuh kegelisahan menanti kesembuhan ibu, dia selalu ada di dekatku, di rumah sakit.
Tidak banyak yang dicakapkan kecuali tentang ibu dan pekerjaanku. Sebab, dia belum mendapatkan pekerjaan yang cocok setelah menamatkan kuliahnya di jurusan informatika di Yogya. Dan, dia lima tahun lebih muda. Sesungguhnya bukan itu yang mengganjal meski kerap menganggu. Tapi saya bingung harus bicara apa padanya.
Saya pernah bertanya apakah dia sudah membaca 'Da Vinci Code dan perdebatanya tentangnya, dia menjawab," Itu komik, ya?" Dan ketika malam makin jauh dan saya mengantuk, saya iseng mengajaknya bicara mengenai 'Inconvenient Truthnya Al Gore' yang membawanya memenangkan nobel. Pemuda itu tersenyum bingung. Saya lalu menyebut Harry Potter, Sponge Bob, Kuraa-kura Ninja.............dia mendengkur.
Francois Lake, Fall
Daun-daun maple menguning. Sebagianya mulai tua, kering dan gugur satu-satu. Danau Francoiss teduh dan riak. Semua begitu tenang. Saya sedang menghabiskan The Secret. Tidak fokuss. Pikiran beterbangan pada sms yang barusan masuk. "Seumpama menginginkan sebuah baju, baju itu sudah terbeli tapi saya kehilangan selera untuk memakainya".
Darah sedang mengalir seantero dinding hati, saya terluka. Jari mulai mampu menarik 'datang atau saya pulang!" Kita perlu bicara." Saya mengancam dengan kalimat pendek, membelit leher. Dari Prince George butuh waktu dua jam untuk tiba di Francois. Tapi saya tidak peduli. Dia menyerah pada ancaman karena katanya 15 menit lagi sampai. Pikiran itu menghangatkan.
Nadi saya bergerak cepat. Dan akhirnya dia tiba. Ada reruntuhan pohon roboh di dada saya karena saya bisa mendengar gemuruhnya. Saat dia duduk di depan saya, mata hitam itu melumat semua otot dan tulang yang menyangga tubuh saya. Rasanya ingin roboh kalau tidak takut malu.
"Kenapa datang?" Pertanyaan yang sengaja saya lontarkan. Pura-pura bodoh. Biar dia bahasakan supaya ada bunyi yang bisa direkam dan diputar ulang di kedalaman ingatan, menghangatkan malam-malam dingin di Vanderhoof. Saat tugas-tugas kuliah terasa makin sulit dan saya kehabisan selera untuk berpikir.
"Karena kau berharga. Tidak seperti baju. Maafkan bahasa saya waktu sms. Itu analogi yang keliru. Maksud saya, saya beristri. Saya tidak ingin mengorbankanmu. Tapi, sekarang saya kehilangan selera untuk memilikimu sebab itu tidak mungkin. Itu akan menyakiti perasaan istri saya. Sekarang kau makin banyak arti buat saya. Lebih sulit untuk tidak memikirkanmu justru pada saat seharusnya kau tidak boleh ada dalam ingatan."
Saya terdiam, merasakan sayatan yang sempurna di dada yang bergetar. Bumi, matahari dan semua planet di lingkaran tata surya ikur gemetar, karena pada lintasanya sebuah Unidentified Flying Feeling sedang melintas."Terima kasih mau datang dan bicara.. Saya bangga padamu. Kita berhenti di sini?"
Pertanyaan melesat begitu saja, tidak saya cerna atau tahu apakah bermanfaat. Bulan berikutnya studinya di UNBC selesai, sedangkan saya masih harus belajar setahun lagi."Saya tidak bisa berhenti mencintaimu, tetapi juga tidak sanggup melangkah lebih jauh seinci pun." Suaranya terdengar berat dan jauh. Perasaan saya penuh seperti balon siap meledak. Percakapan usai. Seperti ombak, mundur ditarik gerakan samudra. Semesta terhenyak. Francois kehilangan semua suara.
Prince George, Winter."Minum apa?" Tanyanya."Rainbow, please," saya tersenyum. Hari terakhir bersamanya. Waktu yang ingin saya hindari telah tiba terlalu cepat. Ups, tarikan pertama pada pippete, tidak manis tapi cukup baik meredam emosi yang riuh.
Tempat ini, moment ini, Rainbow ini akan lenyap sebelum tiga kalimat sempat terucap sempurna. Satu jam berikutnya laki-laki itu telah melesat ke selatan menuju Vancouver, lalu terbang ke LA, Bangkok, Singapura dan Jakarta, kembali ke pelukan istri yang menantinya di Indonesia.
Mengapa tujuan selalu ada di suatu tempat dan suasana yang bukan di sini dan saat ini, tapi di tempat lain dalam suasana yang lain sehingga orang selalu bergegas ke satu titik itu. Mengapa tujuan ada di jalan, di gerbong kereta, di kursi pesawat atau di restaurant ini supaya saya tidak perlu kehilangan dia?
Dia hanya diam dan terus menatap saya dengan makna yang tidak ingin saya tebak. Saya tidak perlu bahasa. Salju masih terus turun di rambut, winter coat, dan boots.
Vanderhoof, Summer. Daun-daun maple menghijau segar. Apple berbuah sangat lebat di dekat jendelaa dapur keluarga Laa Brash. Saya selalu menginap di sini setiap weekend. Kerinduan tiba-tiba menyerbu saya seketika.
Dimana laki-laki itu sekarang? Di belahan mana di Indonesia dia berada? Sedang buat apa? Sudah semusim tak ada kabar, tak ada ucapan rindu atau sekedar menanyakan keadaan saya. Tiba-tiba seekor squirrel melintas, menebas kenangan yang selalu melekat di pori-pori waktu tentang lelaki yang sama. Saya tersadar. Saya masih di sini. Usia 33, lajang, mahasiswi Master of Journalism di University of New British Columbia. (*) Pos Kupang Minggu, 9 Maret 2008, halaman 6.
Read More...